Rabu, 21 Juni 2017

#

Cita Rasa Peradaban

unsplash.com/photos/kSLNVacFehs

Di banyak situasi yang terjadi terutama yang krusial, sikap merupakan kunci utama yang menjadi perhitungan. Dengan kata lain sikap ini mengarah pada adab. Adab di sini mencakup semua kemampuan yang dimiliki seseorang untuk meyesuaikan dan mengenalkan diri dengan cara yang paling santun. Bahwa keberadaannya, ucapannya, tingkah laku ditampilkan dengan sebaik-baik penampilan tanpa meninggalkan kesan berupa bentuk kasihan dan keprihatinan. Karena adab lebih dekat maknanya dengan kepedulian.

Pada zaman-zaman sekarang, kita terlatih untuk membiasakan diri untuk menjauhi sikap ini: adab. Pembiasaan ini bersumber dari semakin banyaknya serapan identitas yang disajikan lingkungan dan media. Yang tentunya membuat kita berpikir terbalik: apa yang sering dilakukan orang-orang di lingkungannya atau media itu adalah hal yang baik dan perlu diikuti tanpa proses pemilahan mana yang baik dan mana yang tidak.

Seolah adab itu menjelma sebuah oase yang begitu menakjubkan dan diharap oleh seorang kehausan di tengah gurun yang begitu terik terpaan mataharinya. Sayangnya, orang itu lebih memilih untuk menganggapnya sebagai fatamorgana belaka. Kemudian pada akhirnya ia akan mati di dalam kehausannya tersebut.

Adab dan peradaban merupakan suatu kesatuan yang terikat dan terintergrasi secara runut. Satunya berkaitan dengan personil dengan ruang lingkupnya yang kecil, sedangkan yang lainnya sifatnya komunal atau berjamaah dengan ruang lingkup yang lebih luas. Kita dapat merasakan penerapan keduanya dalam berkehidupan.

Apakah adab dan peradaban menjadi tolak ukur bagi keberhasilan sebuah zaman? Pertanyaan ini perlu kiranya dijawab dengan jawaban tegas: tentu saja.

Pada masa awal kemunculannya, Islam memulainya dengan baik. Pada masa itu bermunculan sosok yang memiliki adab yang luar biasa menawannya. Generasi itu di sebut-sebut sebagai generasi emas, sedang zamannya di katakana zaman keemasan. Namun tidak berhenti di sana, akan tetapi kumpulan sosok-sosok tersebut membangun peradaban yang tiada semisal dengannya, di masa-masa sebelumnya maupun setelahnya. Kita bahkan masih bisa ikut mebayangkan bagaimana indahnya peradaban pada waktu itu melalui sirah nabawi dan sirah para sahabat.

Kita tentu mampu memahami, di masa awal ada sosok Rasulullah yang adabnya begitu indah begitupun sahabat-sahabat beliau. Adab-adab yang ditampilkan mereka kemudian menjadi sebuah nilai-nilai yang dipertahankan di masa itu. Mengenai kejujuran, keperwiraan, kehormatan, rasa malu, kepekaan, pembelaan dan adab lainnya.

Di satu kesempatan misalnya, Rasulullah diperkenankan untuk memerintahkan malaikat penjaga dua gunung yang mengapit kota Thoif untuk meluluhlantakkan kota tersebut bersebab keingkaran, kedustaan, penistaan, pengusiran serta upaya menyakiti Rasulullah oleh para penduduknya. Kita kemudian terpana menyimak jawaban dari Rasulullah saat itu, “Tidak. Sungguh aku ingin agar diriku diutus sebagai pembawa rahmat, bukan penyebab ‘azab. Bahkan aku ingin agar dari sulbi-sulbi mereka, dari Rahim-rahim mereka, kelak Allah akan keluarkan anak-keturunan yang mengesakanNya dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatupun.”

Adab yang diupayakan kemudian melahirkan kenyamanan-kenyamanan yang mampu menggerakkan orang lain agar berupaya sekedar mendekatkan diri atau bahkan mengikuti apa yang dilakukan. Itulah yang senantiasa diupayakan Rasulullah dalam mengenalkan risalah Islam melalui adab yang diteladankannya sehari-hari. Kita nantinya tahu bahwa adab yang ditampilkan Rasulullah bisa menjadi salah satu datangnya hidayah pada orang lain.

Adab juga berkenaan dengan rasa. Maksudnya adalah kepekaan perasaan yang dimiliki. Semakin tinggi kepekaan yang dimiliki semakin santun adab yang ditunjukkan. Kepekaan ini yang selayaknya kita tumbuhkan saat ini, sedari kini. Dan sudah sepatutnya potensi ini menjadi modal utama mewujudkan cita-cita peradaban yang menawan. Adapun, upaya penerapannya sepatutnya belajar dari Rasulullah, apa yang beliau upayakan dan apa yang beliau hindari, serta apa yang beliau diamkan.

Wallahu A’lam Bishawab.


-----
Rujukan buku yang mendampingi

- Lapis-Lapis Keberkahan karya Salim A. Fillah
- Mencari pahlawan Indonesia karya Anis Matta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Me @orangkomidi