Seperti nyayian kupu-kupu yang melahirkan air, udara menyusup pada selimutmu. Menungguimu dalam malam yang redup di sependar lilin. Tertiup mengikuti alunanku. Alunan untuk laron dan rembulan yang memandangi pekuburan-pekuburunmu. Yang ditimbun kayu-kayu yang dibakar penghuni malam. Menyepikan diri dari malam. Malam yang dilupakan matahari dan bunga-bunga.
Ada yang
menyapaku di dekat kolam. Kolam dengan dua ekor ikan. Berdiam di ujung gulita.
Sedang kecebong selalu muncul dan bertanya pada permukaan air: “kenapa aku
tertinggal?” Dan kunang-kunang mencelupkan warna pada malam. Yang menjadikannya
bertubuh kuning dan terang. Dan rerumputan bergoyang ke arahnya. Menuntun pada
mimpi. Mimpi sebelum tidur.
Dan di selimutmu
ada yang lahir. Bernyawa merah dan bertubuh ungu. Aku seperti menyebutmu
berulang kali di penghujung lilin. Yang tadi pagi menutup diri. Dibujuk angin
untuk lelap di tidurnya. Menyisakan abu yang melingkari tubuhmu. Hijau muda.
Dan gerai rambutmu memberi tahu bahwa aku tidak melahirkan pagi. Yang membuatmu
terbangun di siang hari.
(Bangkalan,
2013)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar