Kamis, 05 Oktober 2017

#

Filsafat Cinta

unsplash.com/photos/3K9SHTiuIB4

Aku mendengar nafas dalam nadiku. Menemaniku dalam kepergianmu. Singkat. Serupa terbakarnya sebatang korek api. Berwarna gulita di penghujung sinarnya. Redup dan pupus. Dihantam gelombang yang lain. Rindu pada embun pagi yang menetes di subuh hari. Dalam hening bebatuan.

Nafas dari ribuan bidadari nun jauh di sana. Tempat dilahirkannya air mata. Mengalir. Melahirkan bunga-bunga. Indah dan rupawan. Semisal tubuhmu yang entah rebah dimana. Mungkin di ujung sadarku. Di dekan retakan-retakan jiwa. Berjuta tahun lalu.

Dan diriku, seolah nafas, merasa angin tak berhembus seperti dulu. Dan padang rumput yang berbunga ilalang tak semanis dulu. Di mata mereka hanya ada duka yang lupa dicelupkan pada air yang mengalir. Pada pancuran awan-awan mendung. Yang lewat di atas perapian.

Dan adakah telingamu mendengar gerak nadiku? Memburu waktu. Hujan. Juga selimut. Sedang di perapian yang hangat, engkau duduk menghadapnya. Di kursi yang kupersembahkan. Dari nafas. Dari air mata. Dari angin yang bernyanyi bersama ilalang. Dan aku ingin bersama. Di perapian itu. Yang hangat.


(Bangkalan, 2013)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Follow Me @orangkomidi