Aku mendengar nafas
dalam nadiku. Menemaniku dalam kepergianmu. Singkat. Serupa terbakarnya
sebatang korek api. Berwarna gulita di penghujung sinarnya. Redup dan pupus.
Dihantam gelombang yang lain. Rindu pada embun pagi yang menetes di subuh hari.
Dalam hening bebatuan.
Nafas
dari ribuan bidadari nun jauh di sana .
Tempat dilahirkannya air mata. Mengalir. Melahirkan bunga-bunga. Indah dan
rupawan. Semisal tubuhmu yang entah rebah dimana. Mungkin di ujung sadarku. Di
dekan retakan-retakan jiwa. Berjuta tahun lalu.
Dan diriku, seolah
nafas, merasa angin tak berhembus seperti dulu. Dan padang rumput yang berbunga ilalang tak
semanis dulu. Di mata mereka hanya ada duka yang lupa dicelupkan pada air yang
mengalir. Pada pancuran awan-awan mendung. Yang lewat di atas perapian.
Dan adakah telingamu
mendengar gerak nadiku? Memburu waktu. Hujan. Juga selimut. Sedang di perapian
yang hangat, engkau duduk menghadapnya. Di kursi yang kupersembahkan. Dari
nafas. Dari air mata. Dari angin yang bernyanyi bersama ilalang. Dan aku ingin
bersama. Di perapian itu. Yang hangat.
(Bangkalan, 2013)


Tidak ada komentar:
Posting Komentar